Info

Antara Pengabdian dan Beban Negara, Polemik Status PPPK

×

Antara Pengabdian dan Beban Negara, Polemik Status PPPK

Sebarkan artikel ini

INFO24.ID – Sejak awal, PPPK diposisikan sebagai solusi transisi atas masalah klasik tenaga honorer. Mereka diberi kepastian hukum, kontrak kerja, dan upah sesuai peraturan. Tapi status mereka tetap “sementara”—tidak memiliki jaminan pensiun, tidak ada kepastian karier jangka panjang.

Kini, setelah bertahun-tahun mengabdi, terutama tenaga guru dan tenaga kesehatan, banyak yang merasa sudah sepantasnya mereka mendapat status PNS. Argumennya sederhana: beban kerja dan tanggung jawab mereka sama, bahkan sering lebih berat dari rekan PNS.

Namun di Senayan, nada yang terdengar jauh berbeda.

Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menegaskan, perubahan status ke PNS tidak bisa diambil dengan keputusan politis semata. “Ini bukan soal empati, tapi soal keberlanjutan fiskal,” ujarnya.
Menurut Rifqi, konsekuensi keuangan dari pengangkatan massal PPPK menjadi PNS sangat besar: tambahan gaji pokok, tunjangan struktural, hingga hak pensiun seumur hidup. “Jika diangkat serentak, negara bisa menanggung beban ratusan triliun dalam jangka panjang,” katanya.

Ancaman di Balik Angka

Badan Kepegawaian Negara (BKN) mencatat, jumlah PPPK yang sudah diangkat hingga 2024 mencapai jutaan orang, mayoritas dari sektor pendidikan dan kesehatan. Jika seluruhnya berubah status menjadi PNS, anggaran belanja pegawai dalam APBN akan melonjak signifikan—padahal saat ini belanja pegawai sudah memakan sekitar 30 persen dari total pengeluaran rutin pemerintah pusat dan daerah.

Analis kebijakan publik menilai, langkah pengangkatan massal ini bisa menggerus ruang fiskal untuk program lain seperti infrastruktur, pendidikan gratis, atau subsidi energi.
“Pemerintah harus berhitung jernih. Setiap kenaikan belanja pegawai adalah pengurangan ruang untuk pembangunan,” ujar Benyamin Surya, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia.

Lebih jauh, pengangkatan PPPK menjadi PNS juga bisa menciptakan efek domino: formasi CPNS baru akan terhambat. Generasi muda yang berharap menjadi abdi negara harus bersabar, bahkan mungkin kehilangan kesempatan selama beberapa tahun ke depan.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran tentang stagnasi birokrasi dan hilangnya momentum regenerasi aparatur sipil.

Beban Moral dan Politik

Pemerintah berada di persimpangan sulit: di satu sisi ada tuntutan moral untuk menghargai pengabdian tenaga honorer dan PPPK yang sudah lama mengisi celah layanan publik; di sisi lain ada tanggung jawab menjaga stabilitas fiskal dan efisiensi birokrasi.

Kementerian PANRB bersama BKN kini tengah mengkaji tiga opsi:

  1. Meningkatkan hak kesejahteraan PPPK tanpa mengubah status hukum.
  2. Memberikan jalur afirmasi seleksi CPNS khusus PPPK.
  3. Pengangkatan bertahap sesuai kemampuan fiskal dan kebutuhan formasi.

Namun para analis menilai langkah ini masih reaktif. “Seharusnya sejak awal, desain kebijakan PPPK dirancang dengan kejelasan arah karier, bukan dibiarkan menggantung seperti sekarang,” ujar Yanuar Nugraha, mantan pejabat Bappenas yang kini mengajar kebijakan publik.
Ia menyebut, pemerintah gagal membangun sistem ASN yang memiliki keseimbangan antara meritokrasi dan perlindungan bagi pegawai lama.

Lebih dari Sekadar Status

Bagi banyak PPPK, perjuangan ini bukan sekadar status hukum, tapi pengakuan atas pengabdian. Mereka menilai, wacana pemerintah yang hanya menambah tunjangan tanpa mengubah status tak menjawab akar persoalan: ketidaksetaraan dalam sistem ASN.
Namun jika pemerintah menyerah pada tekanan publik tanpa kajian matang, hasilnya bisa kontraproduktif: membengkaknya belanja pegawai, menurunnya efisiensi birokrasi, dan berkurangnya peluang generasi muda untuk berkarier di pemerintahan.

Penutup: Jalan Tengah yang Rumit

Polemik pengangkatan PPPK menjadi PNS menggambarkan dilema klasik kebijakan publik Indonesia—antara keadilan sosial dan kemampuan negara.
Di satu sisi, ada kebutuhan moral untuk menghargai mereka yang telah lama mengabdi. Di sisi lain, ada realitas anggaran yang tak bisa diabaikan.

Jika kebijakan ini diambil tergesa-gesa, mimpi para PPPK mungkin memang terwujud. Tapi negara bisa membayar harga yang jauh lebih mahal: stagnasi birokrasi, beban fiskal berkepanjangan, dan tersendatnya regenerasi aparatur.

Pemerintah perlu mengambil jalan tengah yang rasional—bukan populis—dengan dasar data, transparansi, dan keadilan antargenerasi.
Sebab kebijakan kepegawaian bukan hanya soal hari ini, tapi soal keberlanjutan negara di masa depan.