Info

Tren Childfree, Pilihan Hidup atau Ancaman Populasi?

×

Tren Childfree, Pilihan Hidup atau Ancaman Populasi?

Sebarkan artikel ini
ilustrasi

INFO24.ID – Depopulasi, atau penurunan angka kelahiran, menjadi tren global yang semakin mengkhawatirkan. Fenomena ini terjadi di berbagai belahan dunia, di mana rata-rata angka kelahiran semakin menurun.

Misalnya, Korea Selatan memiliki tingkat kelahiran hanya 0,7, sedangkan China dan Jepang masing-masing 1,2 dan 1,3. Situasi ini menunjukkan bahwa banyak negara mengalami penurunan angka kelahiran yang signifikan.

Bagaimana dengan Indonesia? Meski masih berada di angka 2,15, tren penurunan tetap ada dan memerlukan perhatian serius.

Menurut beberapa sumber dari video YouTube Malaka Project pada Jumat, 12 Juli 2024, keputusan untuk Childfree, atau memilih untuk tidak memiliki anak, sering kali disalahartikan sebagai penyebab utama depopulasi.

Namun, kenyataannya lebih kompleks. Banyak faktor yang mempengaruhi penurunan angka kelahiran, termasuk masalah finansial, kesiapan mental, dan kurangnya pasangan yang cocok.

Orang yang Childfree memilih untuk tidak memiliki anak secara sukarela, sementara banyak yang menunda memiliki anak karena berbagai alasan.

“Childfree itu sebutan buat orang yang emang nggak mau punya anak ya, sifatnya sukarela,” jelas Angellie Nabilla dari Malaka Project.

Baca Juga: Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Sang Penyebar Sunnah yang Berpulang

Depopulasi memiliki dampak besar, terutama pada ekonomi global. Dengan menurunnya angka kelahiran, generasi sandwich—orang yang harus merawat orang tua dan anak-anak mereka sekaligus—akan semakin meningkat.

Contoh nyata adalah Cina dengan kebijakan satu anak yang kini menghadapi masalah “4-2-1,” di mana satu anak harus menanggung beban merawat dua orang tua dan empat kakek-nenek.

Selain itu, pekerjaan kasar seperti petani dan kuli bangunan semakin langka karena generasi muda lebih tertarik pada pekerjaan di ruang digital.

Hal ini berdampak pada ekonomi, karena semakin sedikit orang yang mau mengisi peran penting dalam sektor-sektor ini.

“Kerjaan-kerjaan kasar tuh kemungkinan perlahan bakal hilang kayak kuli bangunan, tukang las, atau bahkan petani sekalipun,” tuturnya.

Depopulasi tidak hanya berdampak pada tenaga kerja produktif tetapi juga pada sektor properti dan investasi. Contohnya, Jepang yang mulai membagikan rumah gratis untuk mengatasi masalah populasi yang menurun. Jika tren ini berlanjut, banyak negara akan menghadapi kesulitan dalam menjaga roda ekonomi tetap berputar.

Namun, ada juga peluang untuk beradaptasi dengan tren ini. Pekerja asing bisa menjadi solusi untuk menjaga ekonomi tetap berjalan.

Negara-negara bisa belajar dari satu sama lain dalam mengatasi tantangan depopulasi dan menemukan cara untuk menyeimbangkan populasi mereka.

“Makanya banyak negara-negara yang ada di tren ini ngundang pekerja-pekerja asing buat kerja di negaranya,” tambahnya.

Depopulasi adalah fenomena kompleks yang memerlukan solusi sistemik. Kita perlu memahami bahwa ini bukan sekadar masalah jumlah anak yang dilahirkan, tetapi juga tentang bagaimana kita sebagai masyarakat dapat mendukung keluarga dalam merawat dan membesarkan anak-anak mereka dengan baik.

Dari segi ekonomi hingga sosial, kita harus siap menghadapi tantangan ini dengan solusi yang inovatif dan berkelanjutan.

Depopulasi dan Childfree adalah topik penting yang perlu kita pahami dan diskusikan secara mendalam.

Dengan pemahaman yang tepat, kita dapat mencari solusi yang terbaik untuk masa depan kita bersama.

Pentingnya memahami kompleksitas fenomena ini menggarisbawahi bahwa solusi untuk depopulasi tidak hanya terbatas pada masalah jumlah anak yang dilahirkan, tetapi juga melibatkan dukungan masyarakat dalam mendukung keluarga untuk merawat dan mendidik anak-anak mereka dengan baik.

Dengan pendekatan yang holistik dan inovatif, diharapkan kita dapat menemukan solusi yang tepat untuk menjaga keberlanjutan populasi dan kesejahteraan masyarakat secara global.