INFO24.ID – Persidangan perkara dugaan korupsi dalam kebijakan impor gula oleh Kementerian Perdagangan di era Menteri Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong kini memasuki agenda mendengarkan keterangan saksi.
Umumnya, saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam tahap ini bertujuan memperkuat dakwaan terhadap terdakwa. Namun, jalannya sidang pada Kamis (20/3/2025) dan Senin (24/3/2025) justru berbalik arah. Enam saksi yang dihadirkan membuat Tom Lembong merasa lega karena kesaksian mereka dianggap mendukung posisi Tom.
“Hari ini saya semakin lega karena kebenaran mulai terungkap, semakin banyak fakta yang terkuak,” ujar Tom usai sidang pada Senin sore.
Para saksi yang diperiksa berasal dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Dari Kemenperin, hadir Cecep Saepulah Rahman (Perencana Ahli Muda) dan Edy Endar Sirono (Kasi Standarisasi) dari Direktorat Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan. Sementara dari Kemendag, hadir beberapa pejabat, antara lain Direktur Impor, Muhammad Yany (mantan Kasubdit Importasi Produk Pertanian 2014-2016), Eko Aprilianto Sudrajat (Atase Perdagangan RI di Seoul), Robert J. Bintaryo (Direktur Bahan Pokok Strategis), dan Susy Herawati (Kepala Subdirektorat Barang Pertanian, Kehutanan, Kelautan, dan Perikanan).
Tom menegaskan, keterangan para saksi memperkuat argumennya bahwa kebijakan impor gula yang dilakukan saat itu memang diperlukan dan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Salah satu momen penting dalam sidang adalah saat Robert J. Bintaryo menyatakan bahwa kebijakan impor gula tidak merugikan para petani tebu. Tom bertanya soal kesulitan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) dalam memenuhi target pengadaan 200.000 ton gula karena stok di tingkat petani sudah habis terjual di pasar dengan harga jauh di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Rp 8.900 per kilogram.
Petani, lanjut Tom, cenderung memilih menjual langsung ke pasar karena harga jual saat itu lebih menguntungkan. Hal ini, menurut Tom, membuktikan bahwa petani tidak dirugikan oleh kebijakan impor tersebut.
“Berarti petani puas dengan harga pasar, sehingga PPI tidak perlu berfungsi sebagai penjamin harga?,” tanya Tom. “Benar,” jawab Robert.
Tom kemudian menegaskan, hal ini penting karena salah satu dakwaan JPU adalah bahwa kebijakan impor gula di masanya merugikan petani. Namun jika petani justru puas menjual dengan harga tinggi, Tom menilai dakwaan tersebut tidak berdasar.
Sidang juga mengungkap bahwa kebijakan impor gula tidak hanya dilakukan saat Tom Lembong menjabat. Bahkan di masa Menteri Engartiasto Lukita, kebijakan impor dilaksanakan tanpa mekanisme rapat koordinasi terbatas (rakortas) antarkementerian.
Susy Herawati menjelaskan bahwa ada instruksi langsung dari atasannya yang menyebutkan bahwa perintah tersebut berasal dari menteri sebagai bagian dari diskresi dan kewenangan menteri.
Saksi lainnya, Eko Aprilianto Sudrajat, juga mengonfirmasi bahwa seluruh prosedur surat-menyurat mengenai kebijakan impor gula diketahui oleh pihak-pihak terkait, termasuk Presiden Joko Widodo dan kementerian lain seperti Kementerian Koordinator Perekonomian.
“Ada tembusan juga ke Presiden, Kapolri, bahkan KSAD,” jelas Eko menjawab pertanyaan Tom.
Tom juga memastikan bahwa kebijakan impor gula yang ia jalankan dilakukan secara terbuka dan transparan. Setiap rapat koordinasi selalu diberitakan oleh media massa dan disertai siaran pers resmi.
Dalam perkara ini, Tom Lembong didakwa melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 junto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Tom dituduh merugikan keuangan negara hingga Rp 578 miliar dalam kebijakan impor gula yang diklaim untuk menjaga ketahanan pangan nasional.