INFO24.ID – Fenomena prostitusi di wilayah yang dikenal sebagai kota santri menghadirkan paradoks sosial yang tajam dan problematik. Kota santri secara kultural dipahami sebagai ruang sosial dengan intensitas religius yang tinggi, ditandai oleh keberadaan pesantren, praktik ibadah kolektif, serta norma moral yang mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konstruksi sosial tersebut, agama tidak hanya berfungsi sebagai sistem keyakinan, tetapi juga sebagai sumber legitimasi nilai, kontrol sosial, dan identitas kolektif.
Namun demikian, realitas sosial menunjukkan bahwa praktik prostitusi baik dalam bentuk konvensional maupun berbasis digital tetap berlangsung di ruang-ruang tersebut.
Kehadiran prostitusi di kota santri menantang asumsi normatif bahwa dominasi simbol dan institusi keagamaan secara otomatis mampu menghilangkan penyimpangan sosial. Fenomena ini menegaskan adanya jarak antara idealisme religius dan praksis sosial, sekaligus membuka ruang refleksi kritis terhadap efektivitas agama sebagai kekuatan transformasi sosial.
Esai ini bertujuan untuk menganalisis prostitusi di kota santri melalui perspektif sosial-keagamaan, dengan menekankan pentingnya pergeseran dari kesalehan simbolik menuju kesalehan substantif. Dengan demikian, prostitusi tidak dipahami semata sebagai persoalan moral individual, melainkan sebagai problem struktural yang menuntut respons etis, sosial, dan institusional secara integratif.
Prostitusi sebagai Fenomena Struktural
Dalam kajian sosiologi klasik maupun kontemporer, prostitusi dipahami sebagai gejala sosial yang tidak berdiri sendiri, melainkan berkelindan erat dengan struktur ekonomi, relasi kuasa, dan ketimpangan sosial.
Teori disorganisasi sosial dan teori strain menempatkan prostitusi sebagai konsekuensi dari ketidakseimbangan antara tujuan sosial yang diidealkan dan keterbatasan sarana yang tersedia untuk mencapainya (Merton, 1968).
Individu yang berada dalam posisi sosial-ekonomi rentan sering kali terdorong mengambil jalan alternatif yang secara normatif dianggap menyimpang, tetapi secara pragmatis dipandang sebagai strategi bertahan hidup.
Dalam konteks kota santri, tekanan struktural ini sering kali tersembunyi di balik narasi kesalehan kolektif. Kemiskinan, rendahnya akses pendidikan, migrasi perempuan ke wilayah urban-religius, serta minimnya lapangan kerja layak menciptakan kondisi yang memungkinkan prostitusi berkembang secara laten.
Alih-alih menghilang, praktik prostitusi justru bertransformasi menjadi lebih terselubung dan adaptif, termasuk melalui platform digital dan relasi personal yang sulit terdeteksi.
Penelitian Bernstein (2007) menunjukkan bahwa wilayah dengan kontrol moral kuat tidak selalu bebas dari praktik prostitusi, melainkan mengalami perubahan pola yang menyesuaikan diri dengan tekanan sosial dan regulasi moral.
Temuan ini menegaskan bahwa kontrol moral simbolik seperti larangan normatif dan stigma sosial sering kali tidak sejalan dengan kontrol sosial substantif yang menyentuh akar persoalan struktural.
Perspektif Keagamaan dan Etika Sosial
Dalam perspektif keagamaan, prostitusi secara normatif diposisikan sebagai pelanggaran terhadap nilai kesucian, martabat manusia, dan etika relasi sosial.
Hampir seluruh tradisi agama besar menolak praktik ini karena dianggap mereduksi tubuh manusia menjadi komoditas dan merusak tatanan moral masyarakat.
Namun, etika keagamaan tidak berhenti pada aspek pelarangan, melainkan juga menekankan prinsip keadilan sosial, kasih sayang, dan perlindungan terhadap kelompok yang dilemahkan.
Pendekatan keagamaan yang semata-mata bersifat moralistic dengan menempatkan pelaku prostitusi sebagai subjek dosa berisiko melanggengkan stigmatisasi dan eksklusi sosial.
Farley (2004) menegaskan bahwa stigma sosial terhadap pelaku prostitusi sering kali memperparah kerentanan mereka, mempersempit akses terhadap layanan sosial, dan menghambat proses rehabilitasi.
Dalam konteks ini, agama berpotensi kehilangan dimensi etisnya apabila hanya berfungsi sebagai instrumen penghakiman.
Agama seharusnya berperan sebagai kekuatan emansipatoris yang tidak hanya mengutuk praktik yang dianggap menyimpang, tetapi juga menghadirkan solusi struktural.
Kesalehan substantif menuntut keterlibatan aktif dalam upaya penghapusan ketimpangan sosial, pemberdayaan ekonomi, serta pemulihan martabat manusia.
Dengan demikian, nilai-nilai agama diterjemahkan ke dalam tindakan sosial yang konkret dan berkeadilan.
Hipokrisi Sosial dan Krisis Otoritas Moral
Keberadaan prostitusi di kota santri juga mengindikasikan adanya hipokrisi sosial dan krisis otoritas moral. Ketidaksinkronan antara nilai moral yang dikhotbahkan di ruang publik dan praktik sosial yang berlangsung secara tersembunyi menciptakan ketegangan simbolik.
Berger (1967) menjelaskan bahwa ketika agama hanya berfungsi sebagai kanopi simbolik tanpa daya regulatif yang nyata, maka legitimasi moralnya akan mengalami erosi.
Dalam konteks ini, prostitusi tidak hanya mencerminkan kegagalan individu, tetapi juga kegagalan kolektif dalam membangun tatanan sosial yang adil dan konsisten secara moral.
Ketika norma agama dijadikan identitas simbolik, sementara praktik pembiaran terhadap ketimpangan sosial terus berlangsung, maka agama kehilangan daya transformasinya.
Krisis keteladanan ini berpotensi melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi keagamaan sebagai penjaga nilai moral.
Pendekatan Integratif dalam Penanganan Prostitusi
Menghadapi kompleksitas prostitusi di kota santri diperlukan pendekatan integratif yang melampaui respons represif dan moralistik.
Penegakan hukum perlu dilakukan secara adil dan konsisten, tanpa menjadikan pelaku sebagai satu-satunya pihak yang disalahkan.
Di sisi lain, kebijakan sosial harus diarahkan pada pemberdayaan ekonomi, peningkatan keterampilan, dan penyediaan alternatif mata pencaharian yang bermartabat.
Institusi keagamaan memiliki peran strategis sebagai agen perubahan sosial. Peran tersebut tidak terbatas pada dakwah normatif, tetapi juga mencakup advokasi sosial, pendampingan komunitas rentan, serta pengembangan program rehabilitasi berbasis nilai-nilai kemanusiaan.
Sinergi antara negara, masyarakat sipil, dan institusi keagamaan menjadi kunci dalam membangun respons yang komprehensif dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Prostitusi di kota santri merupakan refleksi paradoks antara idealisme religius dan realitas sosial yang kompleks. Fenomena ini menegaskan bahwa kesalehan simbolik tidak cukup untuk mengatasi problem sosial yang berakar pada ketimpangan struktural.
Penanganan prostitusi menuntut pergeseran paradigma menuju kesalehan substantif yang berorientasi pada keadilan sosial, pemberdayaan, dan pemanusiaan.
Tanpa transformasi tersebut, kota santri berisiko terjebak dalam moralitas simbolik yang rapuh kuat dalam retorika, tetapi lemah dalam praksis sosial.
Sebaliknya, dengan mengintegrasikan nilai agama dan kebijakan sosial yang berkeadilan, kota santri berpotensi menjadi ruang moral yang hidup dan transformatif dalam menghadapi tantangan sosial kontemporer.

Oleh: Dadang Cunandar, S.Pd., M.Pd.
(Dosen STKIP Pancakarya Tasikmalaya)





