INFO24.ID – Vonis majelis hakim terhadap mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, dalam perkara dugaan korupsi impor gula menuai kritik keras dari berbagai pihak, termasuk Mahfud MD, mantan Menko Polhukam.
Mahfud menilai putusan tersebut keliru dan tidak memenuhi prinsip dasar dalam hukum pidana.
“Setelah saya mengikuti jalannya persidangan hingga putusannya dibacakan, menurut saya, vonis ini salah,” ujar Mahfud.
Ia menekankan, dalam fakta persidangan tidak ditemukan mens rea atau niat jahat dari Tom Lembong. Menurut Mahfud, dalam hukum pidana, seseorang baru dapat dipidana jika terdapat unsur perbuatan (actus reus) dan unsur kesalahan atau niat jahat (mens rea).
“Untuk mempidana seseorang, actus reus saja tidak cukup. Harus ada mens rea. Dalam perkara Tom Lembong, mens rea ini tidak ditemukan,” jelasnya.
Mahfud menambahkan, kebijakan impor gula yang dijalankan Tom Lembong dilakukan semata-mata karena menjalankan instruksi dari Presiden Joko Widodo.
“Dalam kasus ini, dia hanya menjalankan tugas administratif dari atas,” tambah Mahfud.
Kuasa hukum Tom, Zaid Mushafi, juga menegaskan bahwa penunjukan koperasi TNI-Polri sebagai pelaksana impor adalah bagian dari kebijakan pemerintah untuk menstabilkan harga pangan, sesuai arahan Presiden.
Pernyataan ini diperkuat oleh keterangan Mayjen (Purn) Felix Hutabarat, mantan Ketua Inkopkar, yang mengaku di persidangan bahwa penunjukan tersebut berdasarkan perintah Kepala Staf Angkatan Darat saat itu, Jenderal (Purn) Mulyono, yang juga mendapat arahan langsung dari Presiden.
Selain soal mens rea, Mahfud mengkritisi majelis hakim yang menghitung sendiri kerugian negara tanpa menggunakan hasil audit resmi BPKP.
“Perhitungan kerugian negara yang dibuat BPKP dinyatakan keliru, lalu hakim membuat hitungan sendiri. Pendekatan seperti ini berbahaya bagi hukum kita,” ungkapnya.
Mahfud juga menyoroti pernyataan hakim yang menilai kebijakan Tom Lembong “kapitalistik” sebagai salah satu faktor pemberat.
“Hakim sampai bercanda bahwa kebijakan kapitalistik Tom memberatkannya. Ini menunjukkan hakim kurang memahami perbedaan antara ide dan norma,” kata Mahfud.