INFO24.ID – Belakangan ini, istilah-istilah teater kerap dipinjam sembarangan. Drama penculikan, aktor di balik kasus, sutradara peristiwa. Bahasa teater direduksi menjadi konotasi manipulasi, tipu daya, dan rekayasa.
Padahal teater, sebagai praktik kebudayaan, justru lahir dari upaya sebaliknya. mencari kejujuran melalui kesadaran akan kepura-puraan.
Di dalam teater, seseorang bertanya sambil membawa jawaban. Bukan karena tidak jujur, melainkan karena semua yang terjadi disepakati sejak awal.
Kata, jeda, emosi, bahkan diam, telah direncanakan. Pemain mengetahui apa yang akan diucapkan teman mainnyanya, hafal napasnya, ritmenya, ledak dan redanya.
Namun justru di titik itulah kerja aktor dimulai. Ia diminta mendengarkan ulang sesuatu yang telah ia ketahui,
dan mengalaminya seolah-olah untuk pertama kali.
Aktor yang baik bukan mereka yang terkejut oleh dialog, melainkan mereka yang mampu mempercayai kejutan itu
meski tahu ia akan datang.
Di panggung, kebenaran tidak diukur dari peristiwa apa yang terjadi, melainkan dari bagaimana peristiwa itu dialami pada saat itu juga.
Teater tidak mengejar fakta, ia mengejar pengalaman. Bandingkan dengan kehidupan sehari-hari.
Kita sering bertanya tanpa kesiapan untuk mendengar. Pertanyaan berubah menjadi alat, bukan jendela.
Jawaban orang lain hanya dipakai untuk menguatkan kesimpulan yang sejak awal sudah kita putuskan.
Di situ ego bekerja:
bertanya bukan untuk memahami, melainkan untuk menang. Teater justru menempuh arah sebaliknya.
Kepalsuan dilatih secara sadar agar kebenaran bisa muncul.
Adegan diulang, emosi dilacak kembali, bukan untuk memalsukan rasa, tetapi untuk menyingkirkan kebohongan yang tak disadari. Yang digugurkan bukan perasaan, melainkan kebiasaan berpura-pura tanpa sadar.
Karena itu, ketika seorang aktor memasuki panggung, ia tahu sepenuhnya bahwa ini adalah permainan.
Dan justru karena kesadaran itulah, ia berani hadir sepenuh hati.
Ia mendengar dengan seluruh tubuhnya, melihat dengan seluruh ingatannya, dan merespons bukan semata dari akal, melainkan dari pengalaman batin.
Di kehidupan nyata, yang sering terjadi justru sebaliknya.
Kita mengaku sungguh-sungguh, namun mendengar setengah-setengah.
Kita mengklaim jujur, namun menutup diri dari kemungkinan lain.
Kita hidup dalam berbagai peran sosial, tetapi menolak menyebutnya sebagai peran.
Maka, bagi seorang aktor, memainkan tokoh bukan sekadar meniru manusia lain.
Ia sedang berlatih menjadi manusia yang lebih sadar.
Sadar bahwa ia sedang berpura-pura, namun memilih jujur di dalam kepura-puraan itu.
Dari kesadaran itulah tokoh menjadi hidup..
bukan karena ia nyata, melainkan karena ia dialami dengan keberanian penuh.
Teater terlalu luhur untuk sekadar dijadikan metafora bagi kebohongan.
Oleh: AB Asmarandana


