INFO24.ID – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kota Tasikmalaya menggelar Tawasul Pergerakan pada Jumat malam, 26 Desember 2025. Kegiatan ini menjadi ruang refleksi sejarah sekaligus perenungan spiritual untuk mengenang peristiwa sosial yang dikenal sebagai Tasik Kelabu, tragedi kemanusiaan yang terjadi pada 26 Desember 1996.
Acara tersebut diikuti kader PMII dari berbagai komisariat dan rayon se-Kota Tasikmalaya. Sejumlah senior yang terlibat langsung dalam dinamika pergerakan pada era Orde Baru turut hadir dan berbagi pengalaman, menghadirkan narasi sejarah secara langsung kepada generasi muda PMII.
Dengan mengusung tema Mengulas Sejarah Mengetuk Pintu Langit: Bangkitkan Spirit Sejarah dalam Khidmat Pergerakan, Tawasul Pergerakan tidak hanya dimaknai sebagai agenda rutin organisasi. Lebih dari itu, forum ini dirancang sebagai ikhtiar kolektif untuk menjaga ingatan sejarah sekaligus memperkuat kepekaan sosial kader di tengah perubahan zaman.
Rangkaian acara diawali dengan pembacaan tawasul dan mahalul qiyam. Ritual tersebut dimaknai sebagai upaya membangun kesiapan batin kader PMII agar nilai spiritual tetap berjalan seiring dengan aktivitas intelektual dan gerakan sosial.
Ketua Pelaksana, Eri Muhammad Ramdani, menjelaskan bahwa tema “Mengetuk Pintu Langit” merupakan pengingat agar kader PMII tidak tercerabut dari akar perjuangan.
“di tengah kondisi sosial yang tampak stabil, masih terdapat ketimpangan dan luka sosial yang membutuhkan keberpihakan serta keberanian moral,” terangnya.
Diskusi sejarah menjadi bagian utama dalam kegiatan ini. Dua narasumber, Abdul Palah dan Yayan Sopyan, memaparkan kembali kronologi peristiwa yang berawal dari kasus di Pondok Pesantren Condong, salah satu pesantren tertua di Tasikmalaya yang berdiri sejak 1864.
Peristiwa tersebut bermula dari hilangnya uang di lingkungan pesantren yang kemudian diketahui melibatkan seorang anak anggota kepolisian. Penanganan kasus yang sarat arogansi kekuasaan justru memicu kemarahan publik. Ketegangan memuncak ketika upaya mediasi berubah menjadi tindakan represif aparat terhadap tokoh agama dan santri.
Penganiayaan yang terjadi di lingkungan kepolisian terhadap Ustadz Mahmud dan sejumlah santri menjadi pemicu meluasnya kemarahan masyarakat. Situasi ini kemudian berkembang menjadi kerusuhan besar pada 26 Desember 1996 yang meninggalkan catatan kelam dalam sejarah Tasikmalaya.
Yayan Sopyan menjelaskan, keterlibatan PMII dalam peristiwa tersebut tidak lahir secara spontan.
“Saat itu, PMII aktif melakukan kajian rutin dan diskusi kritis mengenai kondisi sosial-politik, termasuk kebijakan Dwi Fungsi ABRI yang berdampak pada relasi negara dan masyarakat sipil,” jelasnya.
Ketika beredar kabar bahwa Ustadz Mahmud meninggal dunia akibat penganiayaan, PMII bersama elemen santri menginisiasi doa bersama di Masjid Agung Tasikmalaya. Agenda awal gerakan bersifat tertib dan berbasis spiritual, yakni istigosah serta penyampaian aspirasi publik.
Namun, kondisi sosial yang telah lama tertekan oleh ketidakadilan ekonomi dan politik membuat massa sulit dikendalikan. Aksi kemudian meluas menjadi kerusuhan yang menyasar pusat-pusat perdagangan, terutama di kawasan Jalan HZ Mustofa.
Dalam sesi diskusi, Ketua Rayon Syariah IAIT, Ilham Maulana, memaparkan tiga faktor utama yang melatarbelakangi peristiwa Tasik Kelabu.
“Faktor tersebut meliputi kekecewaan masyarakat terhadap ketimpangan ekonomi, ketegangan antara warga dan aparat negara, serta penganiayaan terhadap tokoh agama yang menyentuh sisi emosional masyarakat Tasikmalaya,” paparnya.
Pandangan serupa disampaikan Ketua Rayon Syekh Abdul Ghorib, Salman Faisal. Ia menilai, di balik kerusuhan tersebut terdapat tuntutan keadilan yang tulus dari masyarakat.
“Spirit perlawanan pada 1996 disebut sebagai bagian dari rangkaian kesadaran sosial yang kelak bermuara pada runtuhnya Orde Baru pada 1998,” ucapnya.
Dalam sesi tanya jawab, Ketua KOPRI Cabang, Laila Sapitri, menyoroti peran kader perempuan pada masa itu. Narasumber menjelaskan bahwa meskipun KOPRI belum terbentuk secara struktural, kader perempuan PMII telah berkontribusi penting, terutama dalam pengelolaan logistik dan dukungan lapangan.
Menjawab tantangan masa kini, para pemateri menegaskan pentingnya transformasi pola gerakan. PMII dinilai perlu menguasai ruang media digital dan media massa sebagai sarana perjuangan baru, tanpa meninggalkan basis kajian dan kerja nyata di tengah masyarakat.
Ketua Cabang PMII Kota Tasikmalaya, Ilham Ramdani Rahman, menutup kegiatan dengan menegaskan komitmen organisasi untuk terus berpihak pada keadilan sosial.
“Keberanian moral kader hari ini harus sejalan dengan semangat para senior pada 1996 dalam melawan kebijakan yang merugikan rakyat,” pungkasnya.
Tawasul Pergerakan diharapkan menjadi penanda bahwa sejarah bukan sekadar masa lalu, melainkan kompas moral bagi PMII dalam mengawal pembangunan Kota Tasikmalaya yang lebih adil dan bermartabat.











